4 Mei 2014

Kodomo no Hi (Perayaan Hari Anak Laki-Laki)

Di Jepang ada sebuah perayaan festival yang khusus diadakan untuk anak-anak. Nah…Hari itu sendiri di Jepang terbagi 2. Namun kali ini, kita akan membahas tentang festival KODOMO NO HI. Festival tersebut adalah sebuah festival khusus anak-anak laki-laki yang akan jatuh setiap tgl 5 di bulan ke 5 (5 Mei).
Untukmerayakan Kodomo no Hi, di banyak rumah yang memiliki putra biasanya akan memasang banner, atau biasa disebut koi no bori, di depan rumah mereka. Banner yang dipasang biasa berbentuk seperti ikan koi yang bersusun 3, dengan warna-warni yang cerah. Banner itu akan melambai-lambai bila tertiup angin. Tiap warna memiliki arti tersendiri..antara lain, melambangkan keberanian, kesuksesan dan kemakmuran.
 Festival anak laki-laki ini mewakili harapan dari orang tua bahwa kelak sang anak laki-laki (putra mereka) bisa menjelma dari hanya seekor ikan koi kelak dapat menjelma menjadi seekor naga yang kuat dan gagah.

Selain itu, pada perayaan ini, biasanya masih ada orang tua yang akan membelikan putra mereka satu set boneka prajurit jaman Edo (musha ningyo). Koleksi tersebut, akan mereka pajangdi dalam rumah mereka. Benar-benar koleksi yang mengagumkan. Namun sekarang harganya sudah mahal dan jarang ditemui di toko, hanya dapat dijumpai di toko-toko khusus saja.

Pada perayaan Kodomo no Hi ini banyak dijual kue traditional yang hanya akan dibuat pada festival hari anak laki-laki ini saja. Yaitu kue kashiwa mochi…Rasanya sama seperti mochi pada umumnya. Legit dan manis. Yang berbeda adalah mochi untuk perayaan ini dibentuk dengan simbol-simbol tertentu. Dapat di lihat dari design kue yang tidak terlalu byk ornamen, tapi bergaris-garis tegas bentuknya dan warna-warna yang melapisi mochi adalah warna-warna tentara.
Mochi bentuk topi prajurit
Kenapa perayaan anak laki-laki ini di Jepang masih dianggap penting?
Filosofinya adalah seorang anak laki-laki Jepang kelak bila telah dewasa, maka diharapkan mampu mengemban kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Paling tidak menjadi pemimpin bagi keluarganya. Hampir sama ya dengan di Indonesia….Tapi ada sedikit perbedaannya…
Ada sebuah ilustrasi yang mungkin bisa menjelaskannya lebih detail dalam peng-aplikasian kehidupan keluarga di Jepang yaitu:
Ada sepasang calon pengatin yang akan melaksanakan pernikahannya. Maka pada saat akad, sang pengantin wanita akan mengenakan kimono untuk upacara pernilkahan di kuil yang berwarna putih bersih. Wajahnya pun dipupur sedemikian putih…
Warna putih itu merupakan sebuah simbol yang mengandung arti bahwa sang pengantin wanita masih suci dan bersih..
Dengan makin majunya Jepang dan derasnya budaya asing. Saya rasa tradisi ini pun sudah mengalami pergeseran.
Sementara sang Pengantin laki2nya akan mengenakan pakaian upacara kimono berwarna hitam, warna yang dianggap menunjukkan kewibawaan.
Ketika acara akad di kuil selesai, maka akan ada sebuah pesta. Sang pengantin wanita akan berganti pakaian, dengan gaun pengantin modern (wedding dress), dan sang pengantin laki-laki bisa berganti pakaian pengantin modern juga (tuxedo).
Namun pakaian Pengantin Wanita untuk acara resepsi adalah pilihan dan selera dari suaminya. Apa pun yang telah menjadi pilihan sang suami, pihak pengantin wanita harusmemakainya. Biarpun itu bisa membuat sang mempelai wanita menjadi sebuah kenangan yang menyedihkan, menyebalkan bahkan menyakitkan. Terutama bila pakaian tersebut tidak sesuai dengan keiinginan hati sang mempelai wanita. Misalnya..: warnanya dianggap norak, modelnya dianggap ga level, atau gaunnya dianggap kampungan. Tapi semua harus diterima dan dipake oleh sang pengantin wanita. Itu adalah simbol suatu bentuk pengorbanan yang mungkin akan terjadi dalam mengarungi bahtera berumah tangga. Ada rasa marah, sedih, jengkel, benci dan sebagainya.
Dan juga sebagai simbol bahwa “dirinya siap dari ujung rambut sampai ujung kaki menjadi istri dan mengikuti semua warna kehidupannya bersama dengan laki-laki yang kini telah menjadi suaminya.”
Namun sepertinya sudah banyak terjadi pergeseran-pergeseran budaya di generasi muda di Jepang sekarang. Sehingga hal-hal simbolis tadi hanya dianggap bagian dari upacara adat saja. Walau masih ada juga keluarga-keluarga yang mempertahankan tradisi-tradisi ini.
Nah…pada festival ini…sepertinya para orang tua juga diingatkan agar mereka mendidik putra-putra mereka sebaik-baiknya. Bukan berarti para anak-anak wanitanya engga ya.

(Mars)

0 komentar:

Posting Komentar